•Cinta telah menjadi
salah satu tema yang paling banyak dibicarakan, ditulis, didiskusikan,
disyairkan, didramakan dan difilemkan. Ribuan buku tentang cinta telah memenuhi
rak-rak perspustakaan dunia, mulai dari tema-tema aksiologi Yunani, karya-karya
klasik para spiritualis hingga novel-novel ternama dunia, seperti Romeo and
Juliet, The House of The Spirit dan Dracula-nya Bram Stokers.
• Cinta adalah masalah
yang lekang oleh waktu. Ada yang percaya padanya, dan ada pula yang
menganggapnya sebagai fatamorgana.. Ada yang menyanjungnya, tapi tidak sedikit
orang yang membencinya. Ada yang tergelak berderai tawa karenanya, ada juga
yang kehilangan asa atau bahkan menjadi gila karenanya. Benar-benar dahsyat.
Cinta telah diperlakukan sebagai sebuah organisme dan entitas biologis,
sehingga dibenci atau disanjung.
•Apa cinta itu? Mungkin
hanya selain pecinta sejati yang berani menjawabnya. Kata Ibnu ‘Arabi, sufi
besar yang meyakini cinta sebagai agama dan imannya, “Jka seorang mengaku bisa
mendefinisikan cinta, jelaslah, ia masih belum mengenalnya. Siapa pun mendefinisikan
cinta, pasti belum mengenalnya. Siapa pun belum pernah merasakan seteguk saja
air cinta, belum pernah mengenalnya. Siapa pun yang merasa kenyang karena
meneggak air cinta, maka ia hanyalah orang yang menghibur diri. Ketahuilah,
cinta adalah minuman yang tak pernah memuaskan pecandunya.” Cinta laksana
wujud, bahkan ia adalah wujud itu sendiri. Ia sangat gamblang, meski hakikatnya
tersimpan di balik tirai misteri.
• Mengapa cinta itu
misterius? Cinta bukanlah esensi dan kategori yang dapat diuraikan sebagai
produk dari komposisi genus dan diferensia. Ia adalah frase yang hanya bisa
diperlakukan sebagai sebuah terma ontologis dan eksistensial. Cinta hanya dapat
dihayati, namun tak dapat disifati. Setiap orang mampu merasakan cinta, namun
mustahil menyifati atau mendefinisikannya.
• Ada pula yang berusaha
menjelaskan hakikat cinta dengan cara membaginya menjadi dua; cinta ilahi dan
cinta insani. Dalam setiap hembusan nafas kita, dalam setiap sel darah kita,
dalam setiap unsur-unsur yang terkandung dalam butiran tanah, terdapat cinta
Ilahi yang acapakali tidak kita sadari. Dengan rahman-Nya, Allah telah
menampakkan indahnya pelangi lewat kedua mata kita; dengan kasihNya yang tiada
batas, memperdengarkan merdunya gemercik air. Cinta kedua adalah cinta insani.
Pada dasarnya, cinta ini juga timbul dari cinta Ilahi. Para sufi membaginya
menjadi dua; cinta natural dan cinta mistikal. Cinta natural adalah cinta
bersyarat, seperti cinta kita pada seorang sahabat karena ia bersikap baik
terhadap kita. Sedang cinta mistikal tidak bersyarat. Ia cukup mencintai tapi
tak butuh dicinta. Cinta ini laksana cinta ibu yang rela tidak tidur semalaman
demi menemani anaknya yang sakit. Seorang ibu tak butuh balasan apakah kelak si
anak membalas jerih payahnya atau tidak.
•Besarkah pengaruh cinta?
Demi cinta, subjek rela meniadakan dirinya sembari menganggapnya sebagai puncak
kesempurnaannya. Laron yang mati akibat tersengat api lampu yang dipujanya.
Semut ternggelam dan terbenam dalam gula yang dicintainya. Bagi sebagian orang,
cinta lebih dari sekedar bernyawa. Karena itulah, mereka mengutamakannya atas
kehidupan.
• Ia tidak bisa didekati
dengan epistemologi. Ia bukanlah terma esensial yang dapat diuraikan
kandungannya. Ia tidak berada dalam negara ‘definisi’, karena definisi hanya
untuk menjalskan sesuatu yang tidak jelas. Ia tidak terpasung oleh partikularia
dan universalia. Kata Ibn al-Qayyim, “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan
jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan
menambah kabur dan tidak jelas. Cinta adalah cinta itu sendiri.” Bukankah
memperjelaskan suatu yang sangat jelas berarti mengaburkannya.
Seorang penyair berpuisi:
•Setiap perkataanku
bicara tentang cinta
• Tatkala mendatanginya,
daku tersipu malu
• Bahasa mulut memang
bisa menerangkan
• Tapi cinta lebih terang
tanpa kata-kata
• Cinta tak dapat
dikenali lewat terma maupun forma sempurna logika (al-had wa al-rasm
al-mantiqi). Hakikat sesuatu hanya dapat diungkap dengan definisi. Definisi
menjadi komprehensif (jami’ wa mani’) bila memuat genus (jins) dan difffrentia
(fashl). Bila elemen genus dan differentia dalam cinta tidak ditemukan, maka
pendefiniannya pun menjadi sulit.
• Cinta hanya bisa
dipahami lewat pengalaman personal. Namun hakikatnya mustahil direngkuh hanya
dengan sekali percobaan. Manusia tak mungkin mengarungi dan menggapai cinta
sejati, karena cinta merupakan jalan tak berujung. Cinta tak pernah memuaskan
pencandu yang selalu dicekik dahaga.
• Para sufi menganggap
Allah sebagai kekasih hakiki para pecinta sejati, kekasih-kekasih selain-Nya
adalah jelmaan dari tajali-Nya. Cinta kepada tajalli-Nya dianggapnya sebagai
cinta majazi yang secara vertikal menuju cinta sejatinya, yaitu Allah Swt. Para
sufi percaya bahwa pada hakekatnya tidak ada suatu apapun kecuali
eksistensi-Nya yang maha Esa. Semua makhluk adalah huruf-huruf yang terangkai
indah dalam lembar wujud-Nya. Tintanya adalah cinta.
• Ironis, insan-insan
modern kini mencari cinta (baca : cinta ragawi). Demi itu, mereka memburu
alat-alat kecantikan, menghamburkan uang demi memvermak hidung dan dagu atau
dada, merawat kuku bahkan (maaf) merias kemaluan, mengukir tatoo, mendatangi
butik-butik fashion, mengubah gaya bicara dengan ‘english selipan’ dan menata
bahasa tubuh. Inilah imagologi cinta yang justru mengamputasi cinta. (Dicopy
dari buku JATUH CINTA, akan diterbitkan TINTA)